MEDAN - Danau Toba di Sumatera Utara menjadi satu dari 15 danau di Indonesia yang keberadaannya semakin terancam. Ketidakpedulian masyarakat di sekitar ditengarai menjadi penyebab utama kondisi kritis danau-danau di Indonesia ini.
"Danau-danau ini dipilih berdasarkan kritisnya tingkat kerusakan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat sekitar," kata Kepala Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Widiyanto, hari ini.
Danau Toba, Sumatera Utara - Indonesia
Selain Danau Toba, Danau Maninjau dan Danau Singkarak di Sumatera
Barat; Danau Kerinci di Jambi; Rawa Danau di Banten, Danau Rawapening di
Jawa Tengah; Danau Batur di Bali; Danau Tempe dan Danau Matano di
Sulawesi Selatan; Danau Poso di Sulawesi Tengah; Danau Tondano di
Sulawesi Utara; Danau Limboto di Gorontalo; Danau Sentarum di Kalimantan
Barat; Danau Cascade Mahakam-Semayang, Danau Melintang, dan Danau
Jempang di Kalimantan Timur; dan Danau Sentani di Papua, menjadi
danau-danau yang tergolong terancam tersebut.
"Setiap danau memiliki karakteristik berbeda-beda sehingga perlu penanganan yang spesifik untuk setiap tipe danau," kata Tri.
Ia mengatakan, 15 danau kritis tersebut ditetapkan pada Konferensi Nasional Danau Indonesia I pada 2009 lalu di Bali. Dalam konferensi juga disepakati untuk menjadikan danau-danau tersebut sebagai danau prioritas periode 2010-2014.
Setidaknya ada 6 kriteria penilaian untuk menentukan danau prioritas. Pertama, kerusakan danau yang meliputi sedimentasi, pencemaran, eutrofikasi, penurunan kualitas dan kuantitas air yang tinggi. Kedua, pemanfaatan danau yang beragam, antara lain untuk pembangkit listrik, pertanian, perikanan (budidaya keramba), air baku, nilai religi dan budaya, pariwisata, serta kondisi masyarakat di sekitar danau.
Ketiga, komitmen pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan danau. Keempat, fungsi strategis danau. Kelima, kandungan biodiversitas di sekitar lingkungan danau, misal, adanya spesies ikan endemik, burung, dan vegetasi. Keenam, nilai penting karbon terkait pengaruh perubahan iklim global.
Tri mengatakan, pengelolaan danau yang tidak berkelanjutan dapat menimbulkan berbagai persoalan, antara lain bencana kematian massal ikan, pencemaran, banjir, kekeringan dan berpotensi memicu konflik sosial masyarakat.
"Perlu kearifan dan landasan kajian ilmiah yang komprehensif dalam pengelolaan maupun pemanfaatan danau," kata Tri. Selain itu diperlukan pula kajian mitigasi bencana dan peran serta masyarakat dalam menjaga pelestarian danau di Indonesia.
Sementara itu, analis lingkungan yang juga pengamat Danau Toba, Jaya Arjuna menilai bahwa ketidakmampuan dan ‘kebodohan’ delapan pemerintah kota / kabupaten yang ada di sekitar Danau Toba menjadi penyebab kritisnya danau indah ini.
“8 Kabupaten/Kota yang ada di sekitar Danau Toba tidak merasa bahwa keberadaan danau ini amat berharga. Inikan perbuatan bodoh,” kata Jaya kepada Waspada Online, hari ini.
Menurut Jaya, para pemimpin di wilayah sekitar Danau Toba hanya mengandalkan pendapatan recehan, tidak berfikir panjang mengenai rezeki dan pendapatan daerah yang lebih besar. “Keramba di Danau Toba, bukan hanya di Danau Toba tapi juga di seluruh danau di Indonesia itu adalah rezeki recehan. Padahal dengan melestarikan lingkungan sekitar danau, maka rezeki lebih besar dari pariwisata bisa diraup dengan mudah,” terangnya.
Untuk itu, Jaya mengingatkan kepada pemerintah daerah delapan kabupaten/kota di sekitar Danau Toba, untuk melihat jauh ke depan, ketimbang keuntungan sesaat.
"Setiap danau memiliki karakteristik berbeda-beda sehingga perlu penanganan yang spesifik untuk setiap tipe danau," kata Tri.
Ia mengatakan, 15 danau kritis tersebut ditetapkan pada Konferensi Nasional Danau Indonesia I pada 2009 lalu di Bali. Dalam konferensi juga disepakati untuk menjadikan danau-danau tersebut sebagai danau prioritas periode 2010-2014.
Setidaknya ada 6 kriteria penilaian untuk menentukan danau prioritas. Pertama, kerusakan danau yang meliputi sedimentasi, pencemaran, eutrofikasi, penurunan kualitas dan kuantitas air yang tinggi. Kedua, pemanfaatan danau yang beragam, antara lain untuk pembangkit listrik, pertanian, perikanan (budidaya keramba), air baku, nilai religi dan budaya, pariwisata, serta kondisi masyarakat di sekitar danau.
Ketiga, komitmen pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan danau. Keempat, fungsi strategis danau. Kelima, kandungan biodiversitas di sekitar lingkungan danau, misal, adanya spesies ikan endemik, burung, dan vegetasi. Keenam, nilai penting karbon terkait pengaruh perubahan iklim global.
Tri mengatakan, pengelolaan danau yang tidak berkelanjutan dapat menimbulkan berbagai persoalan, antara lain bencana kematian massal ikan, pencemaran, banjir, kekeringan dan berpotensi memicu konflik sosial masyarakat.
"Perlu kearifan dan landasan kajian ilmiah yang komprehensif dalam pengelolaan maupun pemanfaatan danau," kata Tri. Selain itu diperlukan pula kajian mitigasi bencana dan peran serta masyarakat dalam menjaga pelestarian danau di Indonesia.
Sementara itu, analis lingkungan yang juga pengamat Danau Toba, Jaya Arjuna menilai bahwa ketidakmampuan dan ‘kebodohan’ delapan pemerintah kota / kabupaten yang ada di sekitar Danau Toba menjadi penyebab kritisnya danau indah ini.
“8 Kabupaten/Kota yang ada di sekitar Danau Toba tidak merasa bahwa keberadaan danau ini amat berharga. Inikan perbuatan bodoh,” kata Jaya kepada Waspada Online, hari ini.
Menurut Jaya, para pemimpin di wilayah sekitar Danau Toba hanya mengandalkan pendapatan recehan, tidak berfikir panjang mengenai rezeki dan pendapatan daerah yang lebih besar. “Keramba di Danau Toba, bukan hanya di Danau Toba tapi juga di seluruh danau di Indonesia itu adalah rezeki recehan. Padahal dengan melestarikan lingkungan sekitar danau, maka rezeki lebih besar dari pariwisata bisa diraup dengan mudah,” terangnya.
Untuk itu, Jaya mengingatkan kepada pemerintah daerah delapan kabupaten/kota di sekitar Danau Toba, untuk melihat jauh ke depan, ketimbang keuntungan sesaat.
(Sumber : www.waspada.co.id)
Belum ada tanggapan untuk "Keberadaan Danau Toba Semakin Terancam"
Posting Komentar