Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar,
ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya
disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian
bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”,
untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa
selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala
disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut
“hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah
simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
Proses pembuatan ulos batak.
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah
sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan
sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan
nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon)
dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan
ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu
diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam
kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada
lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya.
Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu
diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah
benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain
pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu
proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan
waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang
sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh
dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga
mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut
“mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau
dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang
kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang
direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh
benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang
dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah
selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa
cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat
tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang
sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan
tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya
diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang
dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna
motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu
mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang
bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos
Batak.
Jenis-Jenis Ulos dan Penggunaannya
1. Ulos Jugia.
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak
disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau
“parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut
kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai
sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung
gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan
perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum
mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian
anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan
tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang
berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak
bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan
benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering
menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama
dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta)
yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah
besar.
2. Ulos Ragi Hidup.
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos
ini adalah yang paling tinggi nilainya, mengingat ulos ini memasyarakat
pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita
maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun
oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk
“mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir.
Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang
membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu”
disebut dongan tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu
marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba”
terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do
suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang
dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang
punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata
putus (putusan terakhir).
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini
dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan
secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan
kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa)
dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos
(tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang.
Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu
kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus
selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak).
Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua
puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak
yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga
sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua)
kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi
Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos
“Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa
diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos
Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
3. Ulos Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut
sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar
ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah
kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan
ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti
terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap
paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak)
tersebut.
4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok
dipakai untuk suasana suka cita.
Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya
dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat
Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini
dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang
burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di
Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini
sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan
bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi
sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke
daerah.
5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang
sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan).
Ulos
ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut
versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh
Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin),
dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan
pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni
roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan
(simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos
ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur
di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).
6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita.
Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya
menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang
putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak
dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari
jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni
ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang
warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena
ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini
dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah
sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai
sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk
sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai
ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini
dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat
diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga
dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu
karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe
bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan
sipemakai layaknya memakai dua ulos.
8. Ulos Mangiring.
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan
kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai
ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak
akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya
seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian
sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi
kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu
upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai
sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila
mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.
9. Ulos Bintang Maratur.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang
yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia
dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan”
(kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya
berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari
dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai
sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan
ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10. Ulos Sitoluntuho-Bolean.
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang
wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang
anak yang baru lahir sebagai ulos parompa.
Jenis ulos ini dapat dipakai
sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos
panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung
keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer
tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang
tanah guna menanam benih.
11. Ulos Jungkit.
Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada
atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini
dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang
dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar
atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa
oleh saudagar-saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada pertengahan
abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan. Maka bentuk
permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit”
(mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan
kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya
sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka
kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya baik
didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain
songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai
pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu
bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.
12. Ulos Lobu-Lobu.
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang
memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus,
terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak).
Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan
diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini.
Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos
ini juga disebut ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua
sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil
tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain:
Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi
Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos
Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos
Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut
disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi
dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat
batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.
Penerima Ulos
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3
macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos
“na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu.
Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “parompa” dahulu
dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu
dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu”
bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.
I. Ulos Saat Kelahiran.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir
tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut
anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. 1. Bila yang
lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak
sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja
(mar amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari
seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar disamping
sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni… ).
Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan
“si”, maka gelar yang diperoleh itu diperdapat dari anak sulung
perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah
ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk
ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring
dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos
sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah,
yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos
bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang
mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah
dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos
dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos
parompa boleh saja ulos mangiring.
II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat
menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk
pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin
laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari
pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon
diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada
yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya.
Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus
disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan
(sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak
keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan
ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak
diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada
pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut
“ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima
sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama
(pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”.
Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk
mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari
ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya
(margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah
“ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh
hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan
(manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”.
Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka
dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua
laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara
terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata
cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak
dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos
biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata
yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan
penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk
kepada umum dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin
laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian
umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si
tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini
disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula
yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru
disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot,
3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin
perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh
pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang
terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan
bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah
yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak.
Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada
tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin
marangkup”.
III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang
ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status
memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat
diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang
diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari
jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas
tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda,
janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan
dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos
“Panggabei”.
Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang
pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak
“tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan
kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada
acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah
berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini,
disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos
saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni
roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka
(mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat
dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung,
tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih
untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio).
Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi
(panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari
yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang
ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan
penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.
Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka
seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei.
Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi
kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini
jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona
tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula
cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat
lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup
besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak
hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam
perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak
borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora.
Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos
dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan
na tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam
adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan
saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula
(tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak
dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki
yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak pariban (dalam
urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos,
sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale
tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan
lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah
mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan
kekeluargaan dari sipenerima ulos.
sumber : http://tanobatak.wordpress.com/2008/02/18/mengenal-olos-batak/
pakaian untuk sehari-hari ya ulos batak itu ?
BalasHapusbagus juga sepertinya pakaian kyk gitu.. kapan-kapan coba beli ah pakaian ulos bataknya
msh binggung soal status " pamarai ". apakah dari pengantin perempuan atau pengantin laki-laki.
BalasHapustapi keseluruhan sudah sangat bagus. nambah ilmu soal adat batak.
thanks